Oleh : Mawahibur Rahman
Ketika kita akan melakukan suatu pekerjaan maka hal
pertama yang harus kita pahami adalah apa tujuan dari pekerjaan yang kita
lakukan. Memahami betul tujuan akhir dari suatu pekerjaan akan mendorong kita
melaksanakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh. Lebih dari itu kita pun bisa
mengharapkan untuk mendapatkan kenikmatan dari pekerjaan yang kita
laksanakan. Konsep ini juga berlaku
dengan ibadah yang kita laksanakan. Dalam hal ini puasa misalnya, ibadah puasa
ini bisa jadi hanya akan menjadi ritual tahan lapar yang kering dari makna apabila kita tidak
memahami tujuan atau falsafah dibalik puasa ini.
Dalam Al-Qur’an, surah Al-Baqarah ayat 184[1]
Allah swt. telah menjelaskan bahwa tujuan utama dari orang berpuasa adalah لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ yaitu kita menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa.
Hanya kata takwa dalam Islam adalah kata yang mengandung kajian yang sangat
luas. Salah satu aspek takwa adalah aspek kecintaan, yaitu seorang hamba
menyadari betul akan keberadaan sosok Allah swt, dan kesadaran itu melahirkan
ketakutan untuk kehilangan kecintaan Ilahi. Dari aspek ini lah saya ingin
membahas konsep takwa dalam puasa yaitu dari sisi bahwa “Puasa adalah simbol
cinta hamba pada Allah swt.”
Hakikatnya puasa adalah suatu bentuk ekspresi
kecintaan seorang hamba kepada Sang Penciptanya. Kecintaan itu diekspresikan
lewat hamba itu meninggalkan kebutusan dasar nya demi menunjukkan bukti
ketaatan kepada Ilahi. Lihatlah, dalam puasa 3 hal dasar yang harus
ditinggalkan adalah 3 kebutuhan dasar manusia, lebih dari itu malah 3 kebutuhan
dasar dari mahluk hidup. Makan, minum dan melangsungkan keturunan adalah 3
kebutuhan dasar manusia. Sebelum manusia mengenal pakaian, rumah, budaya dll. 3 kebutuhan ini sudah menjadi kebutuhan alami
dan dicari oleh manusia dari jaman pra sejarah. Sedemikian penting kebutuhan
ini hingga Allah swt. sendiri dalam Al-Quran memerintah manusia untuk mencari 3
kebutuhan dasar itu karena ia berkaitan erat dengan kelangsungan hidup manusia
di dunia.
Sekarang lihatlah, bagaimana lewat puasa seorang hamba
meninggalkan makan, minum, pasangan hidup nya karena ingin membuktikan ketaatan
dengan semangat cinta di dalamnya kepada Allah swt. Ketika ia puasa dia juga
merasa lapar, tapi laparnya ditahan agar Allah swt. ridho akan dirinya. Lapar
perutnya tidak lebih terasa perih dibanding hati nya yang lapar akan maidah
(hidangan rohani) dari Allah swt. Hatinya mendambakan agar kiranya dengan
ditahannya lapar jasmani itu, Allah swt berkenan menjamunya dengan makanan
rohani. Ketika ia puasa dia juga merasa haus, terlebih jika ia puasa sambal
harus bekerja di siang terik. Hanya rasa haus nya tidak terasa penting
dibanding batinnya yang haus akan air rohani dari Allah swt. Kalbu nya yang
kering ingin dibasahi oleh cipratan-cipratan air rohani itu. Ia yang puasa ia
adalah seorang hamba pecinta, ia mencitai pasangan hidupnya, ia menyayangi
belahan jiwanya. Namun kecintaan itu terasa tidak terlalu berarti dibandingkan
kerinduan untuk bisa dicintai oleh Tuhannya. Kecintaan itu terasa kecil
dibandingkan dambaan untuk bisa menjadi sahabat Allah swt.
Karena falsafah kecintaan inilah, ganjaran akan puasa
juga bernuansa cinta. Dia tidak lagi menyebutkan nominal-nominal biasa yang
biasanya disebutkan sebagai motivasi ibadah. Lihatlah teks demi teksi dari
hadits dibawah ini :
Setiap amalan kebaikan yang dilakukan
oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga
tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan
puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan
membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku.
Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan
ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau
mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no.
1904)
Lihatlah untuk orang yang memahami
betul hakikat kecintaan puasa dan ia menjalankan puasa dengan kesungguhan dalam
warna itu, maka Liqa Ilahi (perjumpaan dengan Allah swt) adalah
ganjarannya. Sungguh inilah kondisi terbaik yang bisa diharapakan oleh seorang
mukmin berkenaan dengan keimanannya. Yaitu dia berjumpa dengan Sang Pencipta
sejatinya, dia bisa berjumpa dengan Kekasih Sejati kalbunya.
Bentuk kecintaan yang seperti ini akan
melahirkan manfaat yang luar biasa. Dia tidak hanya menjadi pengalaman cinta
antara hamba yang berpuasa dengan Allah swt. Ekspresi kecintaan itu akan bisa
dirasakan oleh orang-orang yang hidup di sekeliling orang puasa itu.
Orang-orang yang berpuasa dengan corak itu dalam waktu sebulan jiwanya sudah
terbentuk pengorbanan besar demi kebaikan. Dia telah mencapai tahap kebaikan
sempurna, yaitu dia siap meninggalkan kebutuhan dan hak sendiri untuk tujuan
yang lebih besar.Sehingga untuk meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah
swt adalah sesuatu yang lebih mudah dibanding sebelum ia melaksanakan puasa di
bulan Ramadhan.
Selepas bulan ramadhan,
orang-orang yang berpuasa siap mengatakan kepada Alalh swt, “ Ya Allah, aku
tahu setiap larangan engkau adalah larangan yang jika aku lakukan akan membawa
kerusakan kepada diriku. Maka dengan sebulan puasa ini aku siap mengatakan
padamu ya Allah. Jangankan meninggalkan larangan yang akan membawa kerusakan
kepada diriku. Meningggalkan makan, minum, pasangan hidup yang itu adalah
kebutuhanku, itu adalah hakku, aku pun siap. Maka apalagi meninggalkan larangan
engkau yang bukan hakku, bukan kebutuhanku, tentu aku Insya Allah akan siap”.
Maka dengan memaham tujuan ini, puasa itu akan membawa
perubahan kebaikan pada nya. Puasa betul-betul membawa berkah bukan hanya pada
dirinya, tapi akan dirasakan oleh orang-orang sekelilingnya. Karena selepas
puasa dia tidak mau lagi mengatakan perkataan yang akan menyakiti mahluk Allah.
Karena dengan nya ia akan kehilangan kecintaan Allah swt. yang ia dapatkan pada
bulan Ramadhan. Dia tidak mau mengambil yang bukan haknya, karena jangankan
yang bukan haknya, yang haknya saja demi kebaikan yang lebih besar, ia siap dia
tinggalkan. Emosi nya akan terkontrol karena dia ketika puasa, walau dia di
pihak yang benar, kemudian datang orang untuk mendebatnya, dia mengatakan akan
mengatakan, “Maaf aku sedang berpuasa, maka aku harus tinggalkan perdebatan
ini”.
Demikianlah puasa sebagai simbol cinta
antara hamba dengan Allah swt. Kecintaan yang apabila dipahami dan dilaksanakan
maka akan menimbulkan perubahan besar, bukan hanya sebagai pribadi tapi sebagai
umat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.