Selasa Maret 7, 2006
Oleh : Dr. H.U. Rehman – Chelmsford, UK
Penterjemah : A.Q. Khalid
Banyak sudah ditulis dan berbagai teori telah dilontarkan orang mengenai penyebab kematian Yesus atau Nabi Isa a.s. di atas kayu salib. Namun tidak ada dari teori-teori itu yang menjelaskan rincian sejarah, injili maupun medikal dari kejadian tersebut.
Pontius Pilatus sebagai Gubernur Roma yang mengadili Nabi Isa a.s. meyakini ketidakbersalahan beliau namun terpaksa menyerahkannya kepada para musuh beliau saat mereka mengancam akan mengadukan dirinya kepada Kaisar Roma jika ia sampai membebaskan Yesus (1). Hanya saja secara rahasia ia melakukan segala upaya guna menyelamatkan Yesus dari kematian. Ia memperpanjang masa persidangan sampai sore di hari Jumat karena mengetahui bahwa adalah bertentangan dengan hukum Taurat bagi umat Yahudi untuk meninggalkan seseorang tergantung di salib setelah senja masuk Sabbath. Waktu yang tersisa untuk penyaliban demikian singkatnya sehingga tidak mungkin kalau Yesus bisa mati di atas salib. Kedua pencuri yang bersama disalib selama jangka waktu yang sama dengan beliau, nyatanya masih tetap hidup saat itu sehingga untuk membunuh mereka maka kaki-kaki mereka diremukkan, sedangkan Yesus diselamatkan dari petaka demikian (2). Yusuf dari Arimathea, seorang murid rahasia dari Yesus, telah memohon kepada Pilatus agar dirinya diizinkan membawa pulang jasad Yesus, dimana hal ini bertentangan dengan kebiasaan saat itu, tetapi ternyata Pilatus mengizinkannya melakukan hal tersebut. Kemudian Yusuf beserta Nikodemus, yang adalah seorang tabib, mengangkut jasad Yesus tetapi tidak menguburkannya di pemakaman umum. Mereka meletakkan beliau dalam sebuah makam berongga. Yesus hanya pingsan di atas kayu salib, dianggap orang banyak telah mati, tetapi kemudian pulih kembali dari keadaan koma. Ketika diberitahukan keadaan Yesus, nyatanya Pilatus merasa heran bagaimana mungkin Yesus bisa mati dalam jangka waktu yang demikian singkat (3).
Sebelum disalib, Yesus dilecut terlebih dahulu. Lecutan demikian menggunakan cambuk dengan duabelas tali kulit yang bermula pada sebuah genggaman. Di ujung masing-masing tali kulit terdapat bola besi kecil atau serpihan tulang domba yang tajam. Beberapa lecutan yang pertama akan menimbulkan memar dan lebam, tetapi lecutan berikutnya akan mengakibatkan serpihan tulang domba itu menyayat lapisan kulit subkutan dan jaringan otot. Rasa sakit dan kehilangan darah akan menimbulkan renjatan (shock) pada sirkulasi darah yang tergantung pula pada banyaknya darah yang terbuang.
Yesus harus memikul patibulum (salib kayu yang bobotnya sekitar 40-60 kg) di atas bahunya dan berjalan menelusuri jalan berbatu karang di kota Yerusalem menuju Golgotha, tempat dilakukannya penyaliban. Beliau terjatuh berulang kali. Seorang kepala prajurit (centurion) Roma menyuruh Simon untuk membantu memikulkan salib sampai ke Golgotha yang terletak sekitar 600 meter dari tempat itu. Kenyataan bahwa Yesus masih sanggup memikul salib walau sebagian jarak ke Golgotha meski dengan susah payah, menunjukkan kalau status sirkulasi darah di tubuh beliau setelah pencambukan itu masih cukup baik karena orang yang mengalami shock sirkulasi darah tidak akan mampu membawa beban tubuhnya di atas kakinya sendiri. Penyaliban terjadi sekitar tengah hari dan penampakan kematian Yesus terjadi seketika sekitar jam 15:00. Yesus berada di atas salib hanya sekitar 3-6 jam saja sedangkan tujuan hukuman dengan salib adalah untuk menimbulkan kematian yang lambat yang biasanya berlangsung sampai tiga atau empat hari lamanya.
Masa bertahan menderita di atas kayu salib bervariasi menurut kondisi nutrisi hari-hari si korban, jumlah darah yang telah tumpah dan banyaknya cairan tubuh yang hilang, kondisi cuaca serta usia si korban. Menurut Barbet, durasi tersebut biasanya antara 24 sampai 36 jam (4). Seorang yang berusia 33 tahun dan memiliki phisik yang kuat, tidak mungkin mati dalam jangka waktu demikian singkat. Yang pasti beliau kehilangan kesadaran, diturunkan dari kayu salib, kemudian mendapat pengobatan atas luka-lukanya dengan ramuan (yang kemudian dikenal sebagai balsam Isa).
Menurut salah satu teori, Nabi Isa a.s. wafat karena tercekik atau sesak nafas (asphyxia = kehabisan udara). Teori asfiksiasi ini menyatakan bahwa bobot tubuh yang menarik ke bawah lengan-lengan yang terentang akan menimbulkan jaringan otot intercostal (jaringan otot di antara tulang-tulang rusuk) menjadi tertarik sampai ke limitnya sehingga menghalangi ekshalasi udara dari paru-paru. Untuk bisa melakukan ekshalasi udara secara sempurna, Yesus harus mendorong tubuhnya ke atas bertumpu pada paku yang terhunjam di kaki beliau, agar jaringan otot dinding rongga dada bisa mengendur. Kebiasaan yang berlaku untuk meremukkan tulang kaki (femur) dengan batang besi berat akan mencegah si korban bisa mengangkat dirinya ke atas, dengan akibat cepat munculnya asfiksiasi. Ritual meremukkan kaki ini biasanya dilakukan saat si korban sudah sangat kelelahan atau telah dekat kematiannya.
Hanya saja Zugibe telah membuktikan secara konklusif bahwa teori asfiksiasi bisa dibenarkan kalau saja tangantangan si korban terikat di atas kepalanya, dan tidak akan terjadi jika lengannya itu terentang dengan sudut derajat 65-70 terhadap palangan salib sebagaimana halnya yang terjadi pada Yesus. Ia ini telah melakukan uji coba tentang telaah eksperimental penyaliban dengan menggunakan tenaga sukarelawan (5). Ia mensuspensi beberapa orang muda yang sehat berumur antara 20 sampai 35 tahun di atas sebuah salib dengan menggunakan belenggu kulit untuk pergelangan tangan dan bilah kulit untuk penahan kaki. Periode suspensi itu berlangsung antara lima sampai empatpuluh lima menit. Timbul cara pernafasan dengan menggunakan rongga perut dan setelah empat menit, tingkat respiratori meningkat empat kali. Ia mencatat beberapa gejala lain seperti berkeringat deras, tachycardia (jantung yang memburu), kedutan dan kejang otot serta perasaan panik. Namun yang menarik ialah tidak ada dari tenaga sukarela itu yang melaporkan kesulitan bernafas, baik menghirup (inhalasi) atau pun menghembus (ekshalasi). Saturasi oksigen dan pH arteri tetap tidak berubah sedangkan enzim jaringan meningkat. Lagi pula, rekonstruksi mengenai posisi di atas salib memastikan bahwa kaki-kaki beliau tidak diremukkan untuk mencegah yang bersangkutan mengangkat tubuhnya guna bernafas, mengingat juga tubuh itu sudah dalam posisi terangkat (6).
Analisis atas Kain Kafan dari Turin memastikan bahwa ada sebuah tubuh dari seorang yang disalib pernah terbaring dalam kafan tersebut dan orang itu mengalami penderitaan persis sama seperti yang dialami oleh Yesus. Temuan itu juga memastikan bahwa orang tersebut tidak mati di atas salib dan yang bersangkutan diturunkan dari salib untuk dimakamkan dalam keadaan masih hidup. Adanya duapuluh delapan bercak darah di Kain Kafan itu mendukung teori di atas. Para peneliti menyatakan bahwa mustahil sebuah tubuh yang telah mati untuk mengucurkan darah sebagaimana yang terjadi pada tubuh yang diselimuti Kafan tersebut. Analisis atas luka yang diakibatkan oleh tombak tentara Roma menunjukkan adanya dua lubang luka, satu di sisi kanan dada saat tombak mempenetrasi rongga dada dan luka satunya lagi di sisi kiri dada yang diakibatkan oleh ujung tombak yang keluar dari tubuh. Bila ditarik garis datar dari lubang masuk sampai ke lubang keluar maka terlihat kalau sudut derajat tombak saat menembus rongga dada adalah 29 derajat. Karena tombak itu menembus di antara rusuk ke lima dan ke enam maka garis lintas tombak itu lewat di atas jantung. Dengan demikian salah jika menyimpulkan bahwa darah dan air yang keluar dari luka diakibatkan oleh penetrasi bilik jantung. Lebih mungkin disebut sebagai efusi pleuri (pleura = membran pembungkus paru-paru) sekunder atau emboli kecil pulmonari yang menimbulkan koleksi hemorhegik. Aliran darah kedua dari luka sisi tersebut terjadi ketika tubuh diletakkan di suatu tempat yang horisontal dan ini mendukung pandangan bahwa yang terjadi adalah efusi pleuri karena keadaannya akan lain jika yang tertembus adalah jantung itu sendiri (7).
Beberapa faktor harus ada sebagai penyebab kematian pada korban karena penyaliban. Antara lain adalah kegagalan renal (ginjal) yang akut yang merupakan ikutan dari shock trauma, hipovolemia (berkurangnya plasma darah yang beredar) dan rhabdomyolysis, asidosis metabolisme (kehilangan alkali dan bertambahnya karbon dioksida) dan kemudian akibat dari penyaliban itu sendiri adalah asidosis respiratori (karena penimbunan karbon dioksida). Trauma luka dada akan menimbulkan atelektasis (paru-paru yang mengempis). Hanya saja keadaan hypercoagulable akibat dari dehidrasi dan rhabdomyolysis akan menimbulkan emboli pulmonari yang berulang. Keadaan ini beserta sejenis kegagalan jantung akibat asidosis akan menyebabkan efusi pleura. Berjuta-juta orang meyakini kalau Kain Kafan dari Turin sebagai kafan yang membalut tubuh Yesus setelah diturunkan dari salib. Ada juga orang-orang yang menganggapnya sebagai barang palsu dan meragukan keasliannya. Namun mereka yang meragukan kain kafan ini sebagai suatu yang palsu dan mengatakan bahwa bercak yang terdapat pada Kafan itu sebagai hasil karya seorang seniman, tetap saja tidak mampu menjelaskan mengapa Kafan itu bisa menerakan imaji negatif di permukaannya. Tanda-tanda yang ditinggalkan oleh mahkota duri, darah semi koagulasi di tengah dada, banyaknya luka karena lecutan cemeti, lubang akibat paku di tangan dan di kaki serta gambaran masih utuhnya kaki sang korban disamping terdapatnya fosil serbuk sari dari sebelas jenis tumbuhan dimana enam di antaranya diidentifikasikan telah punah saat kini tetapi diketahui pernah tumbuh di Palestina 2000 tahun yang lalu, semua itu menjadikan ragu kalau imaji di Kafan tersebut buatan manusia dan bahwa sosok yang dibungkusnya adalah lain dari Nabi Isa a.s. Adalah suatu hal yang menarik bahwa jasad Yesus dibawa ke sebuah makam milik Yusuf dari Arimathea dan bahwa sejalan dengan kebiasaan bangsa Yahudi di masa itu, makam demikian tidak berisi tanah. Ada sebuah batu besar yang menjadi penutupnya. Pada hari Minggu, umat Yahudi bebas bisa mengunjungi tempat dimana Yesus diistirahatkan. Tetapi pagi hari sekali ketika masih gelap, Yesus sudah tidak berada di sana. Tak lama kemudian, beliau terlihat oleh Maryam yang tadinya mengira kalau beliau adalah tukang kebun(8). Kemudian setelah itu Nabi Isa a.s. berbicara kepada para murid, bepergian ke Galilea, makan roti dan ikan, menunjukkan jejas luka di tubuhnya kepada para pengikut beliau dan meloloskan diri secara rahasia dari daerah yurisdiksi Pilatus (9). Kepada para murid yang mengira beliau adalah hantu, beliau mengatakan:
‘Lihatlah tanganku dan kakiku, aku sendirilah ini, rabalah aku dan lihatlah karena hantu tidak ada daging dan tulangnya seperti yang kamu lihat padaku.’ (10)
Setelah selamat dari hukuman salib, Nabi Isa a.s. merupakan orang hukuman atau buronan sehingga beliau harus menghilang dari Palestina. Beliau setelah peristiwa itu ada beberapa kali bertemu dengan para murid untuk menjelaskan tentang bagaimana menyebarkan ajarannya, setelah mana beliau kemudian berjalan ke arah Timur. Jika benar Yesus wafat di atas salib maka beliau telah gagal dalam melaksanakan tugas yang telah diembankan kepadanya untuk menyelamatkan suku bangsa Israil yang hilang.
Rujukan:
(1) Yohanes 19:12
(2) Yohanes 19:32
(3) Markus 15:44
(4) Barbet P., A Doctor at Calvary, diterjemahkan oleh Earl of Wicklow, P.J.Kennedy and Sons, New York, 1953, h. 41174
(5) Zugibe F. T., Death by Crucifixion, Can. Soc. Forens. Sci. J. 1984, 17:113
(6) Hans N., Anthropological Observations on the Skeletal Remains from Giv’ at HaMivtar, dalam Discoveries and Studies of Jerusalem, Israel Exploration J. 1970; 20 (12): 3859
(7) Johnson C. D., Medical and Cardiological Aspects of the Passion and Crucifixion of Jesus the Christ, Bol. Assoc. Med. P. Rico, 1978, 70:97102.
(8) Yohanes 20:15
(9) Matius 28:7
(10) Lukas 24:39
Pontius Pilatus sebagai Gubernur Roma yang mengadili Nabi Isa a.s. meyakini ketidakbersalahan beliau namun terpaksa menyerahkannya kepada para musuh beliau saat mereka mengancam akan mengadukan dirinya kepada Kaisar Roma jika ia sampai membebaskan Yesus (1). Hanya saja secara rahasia ia melakukan segala upaya guna menyelamatkan Yesus dari kematian. Ia memperpanjang masa persidangan sampai sore di hari Jumat karena mengetahui bahwa adalah bertentangan dengan hukum Taurat bagi umat Yahudi untuk meninggalkan seseorang tergantung di salib setelah senja masuk Sabbath. Waktu yang tersisa untuk penyaliban demikian singkatnya sehingga tidak mungkin kalau Yesus bisa mati di atas salib. Kedua pencuri yang bersama disalib selama jangka waktu yang sama dengan beliau, nyatanya masih tetap hidup saat itu sehingga untuk membunuh mereka maka kaki-kaki mereka diremukkan, sedangkan Yesus diselamatkan dari petaka demikian (2). Yusuf dari Arimathea, seorang murid rahasia dari Yesus, telah memohon kepada Pilatus agar dirinya diizinkan membawa pulang jasad Yesus, dimana hal ini bertentangan dengan kebiasaan saat itu, tetapi ternyata Pilatus mengizinkannya melakukan hal tersebut. Kemudian Yusuf beserta Nikodemus, yang adalah seorang tabib, mengangkut jasad Yesus tetapi tidak menguburkannya di pemakaman umum. Mereka meletakkan beliau dalam sebuah makam berongga. Yesus hanya pingsan di atas kayu salib, dianggap orang banyak telah mati, tetapi kemudian pulih kembali dari keadaan koma. Ketika diberitahukan keadaan Yesus, nyatanya Pilatus merasa heran bagaimana mungkin Yesus bisa mati dalam jangka waktu yang demikian singkat (3).
Sebelum disalib, Yesus dilecut terlebih dahulu. Lecutan demikian menggunakan cambuk dengan duabelas tali kulit yang bermula pada sebuah genggaman. Di ujung masing-masing tali kulit terdapat bola besi kecil atau serpihan tulang domba yang tajam. Beberapa lecutan yang pertama akan menimbulkan memar dan lebam, tetapi lecutan berikutnya akan mengakibatkan serpihan tulang domba itu menyayat lapisan kulit subkutan dan jaringan otot. Rasa sakit dan kehilangan darah akan menimbulkan renjatan (shock) pada sirkulasi darah yang tergantung pula pada banyaknya darah yang terbuang.
Yesus harus memikul patibulum (salib kayu yang bobotnya sekitar 40-60 kg) di atas bahunya dan berjalan menelusuri jalan berbatu karang di kota Yerusalem menuju Golgotha, tempat dilakukannya penyaliban. Beliau terjatuh berulang kali. Seorang kepala prajurit (centurion) Roma menyuruh Simon untuk membantu memikulkan salib sampai ke Golgotha yang terletak sekitar 600 meter dari tempat itu. Kenyataan bahwa Yesus masih sanggup memikul salib walau sebagian jarak ke Golgotha meski dengan susah payah, menunjukkan kalau status sirkulasi darah di tubuh beliau setelah pencambukan itu masih cukup baik karena orang yang mengalami shock sirkulasi darah tidak akan mampu membawa beban tubuhnya di atas kakinya sendiri. Penyaliban terjadi sekitar tengah hari dan penampakan kematian Yesus terjadi seketika sekitar jam 15:00. Yesus berada di atas salib hanya sekitar 3-6 jam saja sedangkan tujuan hukuman dengan salib adalah untuk menimbulkan kematian yang lambat yang biasanya berlangsung sampai tiga atau empat hari lamanya.
Masa bertahan menderita di atas kayu salib bervariasi menurut kondisi nutrisi hari-hari si korban, jumlah darah yang telah tumpah dan banyaknya cairan tubuh yang hilang, kondisi cuaca serta usia si korban. Menurut Barbet, durasi tersebut biasanya antara 24 sampai 36 jam (4). Seorang yang berusia 33 tahun dan memiliki phisik yang kuat, tidak mungkin mati dalam jangka waktu demikian singkat. Yang pasti beliau kehilangan kesadaran, diturunkan dari kayu salib, kemudian mendapat pengobatan atas luka-lukanya dengan ramuan (yang kemudian dikenal sebagai balsam Isa).
Menurut salah satu teori, Nabi Isa a.s. wafat karena tercekik atau sesak nafas (asphyxia = kehabisan udara). Teori asfiksiasi ini menyatakan bahwa bobot tubuh yang menarik ke bawah lengan-lengan yang terentang akan menimbulkan jaringan otot intercostal (jaringan otot di antara tulang-tulang rusuk) menjadi tertarik sampai ke limitnya sehingga menghalangi ekshalasi udara dari paru-paru. Untuk bisa melakukan ekshalasi udara secara sempurna, Yesus harus mendorong tubuhnya ke atas bertumpu pada paku yang terhunjam di kaki beliau, agar jaringan otot dinding rongga dada bisa mengendur. Kebiasaan yang berlaku untuk meremukkan tulang kaki (femur) dengan batang besi berat akan mencegah si korban bisa mengangkat dirinya ke atas, dengan akibat cepat munculnya asfiksiasi. Ritual meremukkan kaki ini biasanya dilakukan saat si korban sudah sangat kelelahan atau telah dekat kematiannya.
Hanya saja Zugibe telah membuktikan secara konklusif bahwa teori asfiksiasi bisa dibenarkan kalau saja tangantangan si korban terikat di atas kepalanya, dan tidak akan terjadi jika lengannya itu terentang dengan sudut derajat 65-70 terhadap palangan salib sebagaimana halnya yang terjadi pada Yesus. Ia ini telah melakukan uji coba tentang telaah eksperimental penyaliban dengan menggunakan tenaga sukarelawan (5). Ia mensuspensi beberapa orang muda yang sehat berumur antara 20 sampai 35 tahun di atas sebuah salib dengan menggunakan belenggu kulit untuk pergelangan tangan dan bilah kulit untuk penahan kaki. Periode suspensi itu berlangsung antara lima sampai empatpuluh lima menit. Timbul cara pernafasan dengan menggunakan rongga perut dan setelah empat menit, tingkat respiratori meningkat empat kali. Ia mencatat beberapa gejala lain seperti berkeringat deras, tachycardia (jantung yang memburu), kedutan dan kejang otot serta perasaan panik. Namun yang menarik ialah tidak ada dari tenaga sukarela itu yang melaporkan kesulitan bernafas, baik menghirup (inhalasi) atau pun menghembus (ekshalasi). Saturasi oksigen dan pH arteri tetap tidak berubah sedangkan enzim jaringan meningkat. Lagi pula, rekonstruksi mengenai posisi di atas salib memastikan bahwa kaki-kaki beliau tidak diremukkan untuk mencegah yang bersangkutan mengangkat tubuhnya guna bernafas, mengingat juga tubuh itu sudah dalam posisi terangkat (6).
Analisis atas Kain Kafan dari Turin memastikan bahwa ada sebuah tubuh dari seorang yang disalib pernah terbaring dalam kafan tersebut dan orang itu mengalami penderitaan persis sama seperti yang dialami oleh Yesus. Temuan itu juga memastikan bahwa orang tersebut tidak mati di atas salib dan yang bersangkutan diturunkan dari salib untuk dimakamkan dalam keadaan masih hidup. Adanya duapuluh delapan bercak darah di Kain Kafan itu mendukung teori di atas. Para peneliti menyatakan bahwa mustahil sebuah tubuh yang telah mati untuk mengucurkan darah sebagaimana yang terjadi pada tubuh yang diselimuti Kafan tersebut. Analisis atas luka yang diakibatkan oleh tombak tentara Roma menunjukkan adanya dua lubang luka, satu di sisi kanan dada saat tombak mempenetrasi rongga dada dan luka satunya lagi di sisi kiri dada yang diakibatkan oleh ujung tombak yang keluar dari tubuh. Bila ditarik garis datar dari lubang masuk sampai ke lubang keluar maka terlihat kalau sudut derajat tombak saat menembus rongga dada adalah 29 derajat. Karena tombak itu menembus di antara rusuk ke lima dan ke enam maka garis lintas tombak itu lewat di atas jantung. Dengan demikian salah jika menyimpulkan bahwa darah dan air yang keluar dari luka diakibatkan oleh penetrasi bilik jantung. Lebih mungkin disebut sebagai efusi pleuri (pleura = membran pembungkus paru-paru) sekunder atau emboli kecil pulmonari yang menimbulkan koleksi hemorhegik. Aliran darah kedua dari luka sisi tersebut terjadi ketika tubuh diletakkan di suatu tempat yang horisontal dan ini mendukung pandangan bahwa yang terjadi adalah efusi pleuri karena keadaannya akan lain jika yang tertembus adalah jantung itu sendiri (7).
Beberapa faktor harus ada sebagai penyebab kematian pada korban karena penyaliban. Antara lain adalah kegagalan renal (ginjal) yang akut yang merupakan ikutan dari shock trauma, hipovolemia (berkurangnya plasma darah yang beredar) dan rhabdomyolysis, asidosis metabolisme (kehilangan alkali dan bertambahnya karbon dioksida) dan kemudian akibat dari penyaliban itu sendiri adalah asidosis respiratori (karena penimbunan karbon dioksida). Trauma luka dada akan menimbulkan atelektasis (paru-paru yang mengempis). Hanya saja keadaan hypercoagulable akibat dari dehidrasi dan rhabdomyolysis akan menimbulkan emboli pulmonari yang berulang. Keadaan ini beserta sejenis kegagalan jantung akibat asidosis akan menyebabkan efusi pleura. Berjuta-juta orang meyakini kalau Kain Kafan dari Turin sebagai kafan yang membalut tubuh Yesus setelah diturunkan dari salib. Ada juga orang-orang yang menganggapnya sebagai barang palsu dan meragukan keasliannya. Namun mereka yang meragukan kain kafan ini sebagai suatu yang palsu dan mengatakan bahwa bercak yang terdapat pada Kafan itu sebagai hasil karya seorang seniman, tetap saja tidak mampu menjelaskan mengapa Kafan itu bisa menerakan imaji negatif di permukaannya. Tanda-tanda yang ditinggalkan oleh mahkota duri, darah semi koagulasi di tengah dada, banyaknya luka karena lecutan cemeti, lubang akibat paku di tangan dan di kaki serta gambaran masih utuhnya kaki sang korban disamping terdapatnya fosil serbuk sari dari sebelas jenis tumbuhan dimana enam di antaranya diidentifikasikan telah punah saat kini tetapi diketahui pernah tumbuh di Palestina 2000 tahun yang lalu, semua itu menjadikan ragu kalau imaji di Kafan tersebut buatan manusia dan bahwa sosok yang dibungkusnya adalah lain dari Nabi Isa a.s. Adalah suatu hal yang menarik bahwa jasad Yesus dibawa ke sebuah makam milik Yusuf dari Arimathea dan bahwa sejalan dengan kebiasaan bangsa Yahudi di masa itu, makam demikian tidak berisi tanah. Ada sebuah batu besar yang menjadi penutupnya. Pada hari Minggu, umat Yahudi bebas bisa mengunjungi tempat dimana Yesus diistirahatkan. Tetapi pagi hari sekali ketika masih gelap, Yesus sudah tidak berada di sana. Tak lama kemudian, beliau terlihat oleh Maryam yang tadinya mengira kalau beliau adalah tukang kebun(8). Kemudian setelah itu Nabi Isa a.s. berbicara kepada para murid, bepergian ke Galilea, makan roti dan ikan, menunjukkan jejas luka di tubuhnya kepada para pengikut beliau dan meloloskan diri secara rahasia dari daerah yurisdiksi Pilatus (9). Kepada para murid yang mengira beliau adalah hantu, beliau mengatakan:
‘Lihatlah tanganku dan kakiku, aku sendirilah ini, rabalah aku dan lihatlah karena hantu tidak ada daging dan tulangnya seperti yang kamu lihat padaku.’ (10)
Setelah selamat dari hukuman salib, Nabi Isa a.s. merupakan orang hukuman atau buronan sehingga beliau harus menghilang dari Palestina. Beliau setelah peristiwa itu ada beberapa kali bertemu dengan para murid untuk menjelaskan tentang bagaimana menyebarkan ajarannya, setelah mana beliau kemudian berjalan ke arah Timur. Jika benar Yesus wafat di atas salib maka beliau telah gagal dalam melaksanakan tugas yang telah diembankan kepadanya untuk menyelamatkan suku bangsa Israil yang hilang.
Rujukan:
(1) Yohanes 19:12
(2) Yohanes 19:32
(3) Markus 15:44
(4) Barbet P., A Doctor at Calvary, diterjemahkan oleh Earl of Wicklow, P.J.Kennedy and Sons, New York, 1953, h. 41174
(5) Zugibe F. T., Death by Crucifixion, Can. Soc. Forens. Sci. J. 1984, 17:113
(6) Hans N., Anthropological Observations on the Skeletal Remains from Giv’ at HaMivtar, dalam Discoveries and Studies of Jerusalem, Israel Exploration J. 1970; 20 (12): 3859
(7) Johnson C. D., Medical and Cardiological Aspects of the Passion and Crucifixion of Jesus the Christ, Bol. Assoc. Med. P. Rico, 1978, 70:97102.
(8) Yohanes 20:15
(9) Matius 28:7
(10) Lukas 24:39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.