Salah satu tujuan dari diadakannya ujian akhir di sekolah adalah agar peserta ujian siap untuk memasuki jenjang berikutnya yang lebih tinggi. Dimana dalam ujian itu, agar lulus para peserta diharuskan mengeluarkan seluruh kemampuan yang selama ini diajarkan. Fenomena seperti ini jugalah yang terjadi dalam ujian Paidal Safar, bahkan dalam derajat yang lebih tinggi. Salah satu tujuan diadakannya ujian Paidal Safar, adalah agar para mahasiswa Jamiah siap untuk nantinya siap berlaga di medan yang lebih besar, yaitu medan lapangan. Dalam ujian kali ini, saya benar-benar merasakan segala sesuatu yang selama ini selalu ditekankan oleh para Dosen. Kesabaran, semangat pantang menyerah, tawakal kepada Allah, berusaha hingga titik akhir kemampuan.
Memang jika mengingat kembali perjalanan 215 km kemarin, saya masih seperti tidak percaya jika bisa melaksanakannya. Seperti mustahil untuk orang berbadan dan berkaki kecil seperti saya sanggup menempuh perjalanan sejauh itu. Namun, akhirnya saya yakin bahwa semata-mata hanya pertolongan Allah Ta’ala lah yang membuat saya bisa menyelesaikannya. Saya tentu berharap tulisan pendek ini cukup mewakili suka duka saya selama ujian Paidal Safar kemarin.
Senin 10 Mei 2010, sebuah goyangan tangan membangunkan badanku, sementara saya lihat, jam dinding belum genap menunjukkan jam 01. 15 dini hari. Dengan agak berat saya langsung bangun, basuhan air di muka cukup untuk membuatku segera sadar bahwa saya harus segera bersiap-siap menghadapi salah satu ujian terberat di Jamiah. Dari malam saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya, namun belum untuk pemasangan perban di kaki. Cukup lama saya memasangnya hingga membuat saya agak terlambat datang ke Dapur Jamiah.
Singkat cerita, saya dan Nur Khoer ternyata mendapat undian pertama, dengan semangat 45 kami pun memulai perjalanan dengan doa dan langkah-langkah kaki ringan. Terasa belum sampai 3km kami berjalan, tiba-tiba dari belakang pasangan Amar dan Rizal sudah menyalip, tidak lama kemudian pasangan Agus dan Fadhal pun menyalip. Pada awal-awal perjalanan, panitia selalu stand by di tiap tikungan, mungkin takut-takut kami akan menyasar. Petaka mulai datang setelah kami berjalan sekitar 2 jam, di tikungan setelah perumahan Arco, kami melihat peta ada belokan ke kiri, namun di jalan tidak ada tanda belok. Kami pun akhirnya bertanya kepada lelaki berjaket coklat yang duduk tidak jauh dari sana. Yang kami tanyakan pada saat itu bukanlah Parung, namun jalan yang manakah yang mengarah ke Ciputat/Lebak Bulus. Lelaki itu menjawab “Belok kiri mas”. Pada saat itu kami tidak sadar bahwa kami sedang berbelok ke jalan yang mengharuskan kami menempuh Ujian kali dengan lebih berat. Kami pun terus berjalan dengan kecepatan yang cukup cepat, namun kami heran tidak terlihat satu pasangan pun di depan, begitupun dari belakang. Sementara panitiapun tidak terlihat satu pun batang hidungnya. Namun kami terus berjalan mengikuti peta yang dari awal telah salah kami pahami.
“ Mas sekarang di jalan setia budi, sedangkan titik ini itu di Parung “ Sebuah jawaban singkat dari seorang tukang ojek menyadarkan kami dengan guncangan besar. Jam menunjukkan pukul 07.30, dengan jalan cepat seperti tadi, setidaknya kami sudah berjalan minimal 30km. Dalam keadaan seperti itu, akhirnya kami mengambil keputusan untuk menelpon panitia dengan uang amanat yang diberikan. “ Oke hib, tunggu aja disana nanti kamu akan dijemput panitia” ujar Mas Anom. Saat itu timbul ketakutan bahwa kami akan dikembalikan ke pos 2, yaitu Parung. Ketakutan itu pun terbukti, saat 45 menit kemudian panitia datang menjemput. Jujut awalnya saya merasa sangat terpukul dengan musibah ini, saya berfikit baru hari pertama saya sudah harus menambah perjalan sepanjang 15 km (Parung adalah titik 15km dalam peta panitia) artinya kami harus lebih banyak kehilangan tenaga, lebih panas dalam perjalanan, dan tentunya minimal dalam hitungan normal kami ketinggalan 4,5 jam (Kami baru berjalan lagi dari Pasar Parung pukul 9 kurang sedikit). Namun kami menerima tantangan ini. Perjalanan di bawah terik matahari dan lelahnya kakipun dimulai.
Dari awal panitia memberitahu bahwa minimal ada 3 pos yang menyediakan air minum. Namun itu tidak terjadi pada kami, di tiap pos yang kami lalui, air minum selalul kehabisan. Sementara terik matahari sudah sangat panas, kaki pun sudah sangat lelah. Beberapa kali saya tertinggal oleh Nur Khoer yang fisiknya lebih kuat. Puncak kekuatan fisik saya terhenti pukul 13.30 siang. Kaki sudah sangat pegal (Pada saat itu saya hitung sudah 50km kami berjalan), nafas sudah sangat terengah-engah. Sementara di pos UNPAM tidak terlihat satu orang panitiapun, walaupun Khoer sudah mencari keliling-keliling hingga setengah jam. Hingga saat itu, tidak setetes air pun yang kami dapatkan dari Panitia. Saya duduk terhempas di pertigaan besar/belokan menuju jalan Setia Budi. Saya benar-benar merasakan dehidrasi yang tak tertahankan. Begitu pula dengan Khoer, namun ia lebih berani. Mengambil air di gentong yang sama sekali tidak nampak bersih, 2 botol Aqua ia habiskan. Dalam keadaan fisik yang lemah seperti itu saya tidak berani untuk mengambil resiko. Saya berfikir bagaimana kalau saya jatuh sakit, sementara tiada panitia satu pun.
Akhirnya di titik inilah, kami harus berpisah karena saya sudah tidak sanggup berjalan. Dengan uang yang tersisa saya mencoba mencari wartel untuk menelpon, namun tidak ketemu. Sementara itu, pinjaman HP pun tidak saya dapatkan. Dalam keadaan yang lemah seperti itu saya teringat pesan panitia, “ Gunakan uang amanat dalam keadaan sangat terpaksa”. Saat itu saya dihadapkan pilihan, saya harus minum atau saya dehidrasi. Akhirnya dengan amat berat, saya membeli minuman dengan uang yang tersisa. Sebuah keputusan berat yang saat itu saya ambil. Rasa haus seperti tidak mau hilang, walaupun lebih dari satu gelas air yang terminum. Namun setidaknya rasa haus yang membakar itupun hilang.
Setelah istirahat selama 1 jam di Mushola, saya pun melanjutkan perjalanan. Tidak lama setelah itu, dari belakang muncul mobil panitia yang memberikan satu botol air minum, dan satu bungkus roti. Keduanya langsung saya lahap. Dari Sdr. Irfan akhirnya saya mengetahui bahwa pos UNPAM memang telah ditinggalkan penjaganya ketika tadi kami datang kesana. Penjaganya memang terlalu lama menunggu kami. Saat itu hujan turun amat deras, sementara di Peta Panitia nampak masih 17km lagi harus saya tempuh. Air minum dan sebungkus roti tidak membuat perjalanan saya seberat sebelumnya. Singkat cerita pukul 18.30 malam saya baru sampai di Masjid Parigi, sementara Nur Khoer sampai satu jam sebelumnya. Disana saya akhirnya mengetahui, bahwa rata-rata kawan-kawan saya telah sampai disana ba’da Dzuhur. Namun sampai di Masjid Parigipun telah membuat saya sangat bahagia.
Selasa 11 Mei. Setelah kemarin mengalami musibah tersesat, pada hari ini saya berjalan dengan harapan akan finish 5 besar. Rute Parigi-Masjid Gondrong sepertinya tidak terlalu berat. Mendapat nomer finish pertama, sepertinya semuanya akan berjalan lancar. Namun ternyata perjalanan tidak semulus yang saya bayangkan, baru berjalan sekitar 5km mata saya sudah kunang-kunang, sementara badan terasa amat berat dibawa. Pada akhirnya saya baru paham jika badan saya demam, sepertinya disebabkan guyuran hujan kemarin. Akhirnya disebuah gubuk saya istirahat sebentar. Setelah itu perjalanan banyak dilalui dengan langkah-langkah kecil. Bukan karena kaki yang sakit, tapi lebih ke badan yang sakit. Saking tidak kuatnya, saya sempat menangis tersedu-sedu sekitar pukul 8 pagi, saat itu saya sudah berada di urutan akhir. Saya merintih kepada Tuhan agar saya diberi kekuatan agar bisa lulus Paidal Safar. Dalam keadaan seperti itu, satu hal yang terus saya pegang adalah saya harus sampai ke Gondrong. Alhamdulilah sekitar pukul 9 demam saya hilang, namun saya sudah tertinggal 1,5 jam dengan rekan-rekan saya.
Seingat saya, hari ke-2 adalah hari yang paling berat. Selain karena tubuh saya tidak fit, juga karena saya banyak menemui rute gedung-gedung besar di daerah Bintaro ataupun Sumarecon yang panasnya setengah mati. Namun saya terus berjalan dengan semangat bahwa saya harus sampai, walaupun saya yang terakhir sampai. Saya terus berjalan namun tidak nampak satu orangpun di depan. Baru sekitar pukul 11.30 saya bertemu 4 rekan saya yang sedang istirahat di gundukan tanah yang rindang oleh pepohonan. Alhamdulilah walaupun tidak terus-menerus, dalam perjalanan Paidal Safar ini, saya sering berdzikir. Dan semata-mata hanya pertolongan Allah Taa’la yang membuat saya tetap lulus. Singkat cerita jam 16.30 saya sampai di Masjid Gondrong, dan tetap menjadi yang terakhir. Benar-benar hari ini segala kesabaran, semangat dan kerja keras saya telah saya keluarkan sekuat tenaga. Dalam perjalanan sering saya juga berfikit betapa beratnya tugas seorang mubaligh.
Dalam 2 hari ini dukungan panitia kepada saya sangat bagus, mereka selalu memberi semangat kepada saya, selalu menunggu saya di tiap tikungan besar ataupun di pos. Sungguh untuk segala kerja kerasnya, saya acungkan 2 jempol kepada mereka, atas segala pelayanannya.
Rabu, 12 Mei. Tak terasa 2 hari sudah saya lalui ujian Paidal Safar. Berbeda dengan 2 hari sebelumnya, saya yang selalu berpasangan dengan Nur Khoer, berganti pasangan. Hakim dengan badannya yang agak bongsor menjadi pasangan baru saya. Pergantian pasangan ini berlaku ke semua peserta pada hari yang menempuh rute Masjid Gondrong-Peninggilan.
Berat…..Memang berat Paidal Safar…….Pada hari ini, baru mulai melangkahpun kaki saya sudah sakit, terasa linu dan sakit di bagian engkel. Dengan terseret-seret saya tetap menjadi peserta yang paling belakang sampai pos-pos. Hari ini juga terasa berat, namun memang tidak seberat hari kemarin. Namun berbeda dengan hari sebelumnya, pada hari ini saya sempat beberapa kali menyalib rekan-rekan saya, yang pada akhirnya menyalib saya kembali. Di pos Parigi, nampak Hakim yang sedang kesakitan setelah kakinya diserempet motor.
Hingga pukul 12 siang, perjalanan terasa tidak terlalu berat, karena nampaknya sudah mencapai 80% peta. Hitungan saya, paling lambat saya sampai Masjid Paninggilan jam 14.30. Namun tidak kenyataannya. Tikungan-tikungan akhir peta yang digambarkan sangat pendek ternyata adalah belokan-belokan yang sangat jauh. Diantara semua belokan, belokan di jalan Pertukangan Utara adalah belokan yang paling berat. Digambarkan hanya dengan jalan lurus pendek, ternyata adalah jalan berbelok-belok yang sangat panjang.
Setelah melalui perjalanan yang amat panjang dan melelahkan, pada akhirnya sebelum jarum jam menujukkan pukul 5 sore, 2 kaki saya sudah bisa mencicipi nikmatnya basuhan air panas di pelataran Masjid Paninggilan.
Malamnya saya langsung oles kaki saya dengan 3 ramuan, ramuan pertama adalah salep Arnica care, lalu Counterpain dan terakhir adalah kapur sirih dicampur jeruk nipis. Malam itu saya berharap bahwa esok bisa sampai Kampus Mubarak tanpa ada keinginan untuk finish urutan keberapa.
Last Day. Kamis 13 Mei 2010. Seperti kemarin, hari ini pun saya disandingkan dengan Arif Rahman Hakim. Namun ada yang aneh dengan hari ini, kaki saya benar-benar terasa ringan, semua pegal linu serta rasa nyeri di engkel bisa dibilang hilang seluruhnya. Kalaupun terasa hanyalah sedikit. Saya baru sadar, bahwa ramuan kapur sirih ditambah jeruk nipis adalah ramuah yang benar-benar bagus untuk jalan kaki jauh. Melihat hal ini, niatanpun berubah. Tiba-tiba timbul keinginan untuk finish pertama.
Keinginan untuk finish pertamapun membuat saya meninggalkan Hakim serta Fadhal yang pada awalnya kami bersama-sama. Keadaan Hakim sudah parah, memang ada perasaan berat untuk meninggalkan. Namun pada saat meninggalkan, niat awal saya adalah daripada 2 orang terseret-seret sampai Kampus Mubarak, lebih baik hanya satu orang.
Akhirnya bersama Amar, saya memulai perjalanan jalan kaki yang benar-benar cepat. Seluruh kecepatan kaki kami kerahkan. Saat itu saya berfikir pasti rekan-rekan di belakang saya, mereka tidak sanggup lagi berjalan secepat ini. Kami berdua berjalan benar-benar cepat, yang ada dalam fikiran saya adalah bagaimana untuk mengejar Ataul yang berdasarkan hitungan saya, dia berjalan sangat….sangat…cepat…layaknya bus Kerub yang sedang ngebut. Namun perkiraan saya buyar semua, ketika sekitar pukul 6 pagi, dari arah belakang Arif A serta Karim menyalip dengan kecepatan yang tidak masuk akal untuk orang yang telah berjalan 150km. Kaki saya agak lemas jadinya, saya sempat berhenti 5 menit, setelah pada 3 pos sebelumnya sama sekali tidak istirahat. Namun saya tidak mengendurkan saraf, saya kembali berjalan, tetapi tidak dengan kecepatan secepat sebelumnya, namun tetap saja masih cepat.
Sekitar pukul 07.30 pagi dari arah belakang nampak rombongan Iman dkk yang berjalan sangat cepat. Kembali saya geleng-geleng kepala, saya lebih merasa sedang berlomba dengan para kuli, dibanding dengan mahasiswa. Merasa tidak mau disalip, saya kembali memaksimalkan kecepatan kaki saya, hampir 40 menit saya tidak tersalip, namun di tikungan menuju Cinere 21 saya tersalib Iman yang berjalan sangat cepat. Setengah jam kemudian saya tersalib oleh 3 orang yang berat untuk menyebutkan namamanya ( Memang lebih enak nyalib daripada disalip).
Hari itu yang saya lihat bukanlah para mahasiswa biasa, namun lebih terlihat dari gerombolan orang-orang yang tidak memperdulikan rasa sakit di kaki, atau rasa letih di badan. Contohnya adalah Umar, walaupun kakinya sudah pincang sebelah, namun kecepatan jalannya masih luar biasa. Saya jadi paham, memang Paidal Safar ini telah mendidik para pesertanya untuk tidak menyerah dalam keadaan apapun.
Singkat cerita sekitar jam 12 lebih, saya sampai di Kampus Mubarak. Ada perasan amat lega, bahagia dan bangga tentunya setelah berhasil menaklukkan 215km dengan kedua kaki kita. Terima kasih Tuhan karena Engkau selalu menemani saya selama perjalanan, Thanx You panitia atas segala kerja kerasnya, terima kasih Pak Amar Ma’ruf yang telah mencetuskan Paidal Safar. Dan tentunya juga terima kasih kepada seluruh dosen serta rekan perjuangan. Terakhir saya ucapkan selamat Paidal Safar untuk para mahasiswa tingkat I.
Wassalam
Mawahibur R
Memang jika mengingat kembali perjalanan 215 km kemarin, saya masih seperti tidak percaya jika bisa melaksanakannya. Seperti mustahil untuk orang berbadan dan berkaki kecil seperti saya sanggup menempuh perjalanan sejauh itu. Namun, akhirnya saya yakin bahwa semata-mata hanya pertolongan Allah Ta’ala lah yang membuat saya bisa menyelesaikannya. Saya tentu berharap tulisan pendek ini cukup mewakili suka duka saya selama ujian Paidal Safar kemarin.
Senin 10 Mei 2010, sebuah goyangan tangan membangunkan badanku, sementara saya lihat, jam dinding belum genap menunjukkan jam 01. 15 dini hari. Dengan agak berat saya langsung bangun, basuhan air di muka cukup untuk membuatku segera sadar bahwa saya harus segera bersiap-siap menghadapi salah satu ujian terberat di Jamiah. Dari malam saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya, namun belum untuk pemasangan perban di kaki. Cukup lama saya memasangnya hingga membuat saya agak terlambat datang ke Dapur Jamiah.
Singkat cerita, saya dan Nur Khoer ternyata mendapat undian pertama, dengan semangat 45 kami pun memulai perjalanan dengan doa dan langkah-langkah kaki ringan. Terasa belum sampai 3km kami berjalan, tiba-tiba dari belakang pasangan Amar dan Rizal sudah menyalip, tidak lama kemudian pasangan Agus dan Fadhal pun menyalip. Pada awal-awal perjalanan, panitia selalu stand by di tiap tikungan, mungkin takut-takut kami akan menyasar. Petaka mulai datang setelah kami berjalan sekitar 2 jam, di tikungan setelah perumahan Arco, kami melihat peta ada belokan ke kiri, namun di jalan tidak ada tanda belok. Kami pun akhirnya bertanya kepada lelaki berjaket coklat yang duduk tidak jauh dari sana. Yang kami tanyakan pada saat itu bukanlah Parung, namun jalan yang manakah yang mengarah ke Ciputat/Lebak Bulus. Lelaki itu menjawab “Belok kiri mas”. Pada saat itu kami tidak sadar bahwa kami sedang berbelok ke jalan yang mengharuskan kami menempuh Ujian kali dengan lebih berat. Kami pun terus berjalan dengan kecepatan yang cukup cepat, namun kami heran tidak terlihat satu pasangan pun di depan, begitupun dari belakang. Sementara panitiapun tidak terlihat satu pun batang hidungnya. Namun kami terus berjalan mengikuti peta yang dari awal telah salah kami pahami.
“ Mas sekarang di jalan setia budi, sedangkan titik ini itu di Parung “ Sebuah jawaban singkat dari seorang tukang ojek menyadarkan kami dengan guncangan besar. Jam menunjukkan pukul 07.30, dengan jalan cepat seperti tadi, setidaknya kami sudah berjalan minimal 30km. Dalam keadaan seperti itu, akhirnya kami mengambil keputusan untuk menelpon panitia dengan uang amanat yang diberikan. “ Oke hib, tunggu aja disana nanti kamu akan dijemput panitia” ujar Mas Anom. Saat itu timbul ketakutan bahwa kami akan dikembalikan ke pos 2, yaitu Parung. Ketakutan itu pun terbukti, saat 45 menit kemudian panitia datang menjemput. Jujut awalnya saya merasa sangat terpukul dengan musibah ini, saya berfikit baru hari pertama saya sudah harus menambah perjalan sepanjang 15 km (Parung adalah titik 15km dalam peta panitia) artinya kami harus lebih banyak kehilangan tenaga, lebih panas dalam perjalanan, dan tentunya minimal dalam hitungan normal kami ketinggalan 4,5 jam (Kami baru berjalan lagi dari Pasar Parung pukul 9 kurang sedikit). Namun kami menerima tantangan ini. Perjalanan di bawah terik matahari dan lelahnya kakipun dimulai.
Dari awal panitia memberitahu bahwa minimal ada 3 pos yang menyediakan air minum. Namun itu tidak terjadi pada kami, di tiap pos yang kami lalui, air minum selalul kehabisan. Sementara terik matahari sudah sangat panas, kaki pun sudah sangat lelah. Beberapa kali saya tertinggal oleh Nur Khoer yang fisiknya lebih kuat. Puncak kekuatan fisik saya terhenti pukul 13.30 siang. Kaki sudah sangat pegal (Pada saat itu saya hitung sudah 50km kami berjalan), nafas sudah sangat terengah-engah. Sementara di pos UNPAM tidak terlihat satu orang panitiapun, walaupun Khoer sudah mencari keliling-keliling hingga setengah jam. Hingga saat itu, tidak setetes air pun yang kami dapatkan dari Panitia. Saya duduk terhempas di pertigaan besar/belokan menuju jalan Setia Budi. Saya benar-benar merasakan dehidrasi yang tak tertahankan. Begitu pula dengan Khoer, namun ia lebih berani. Mengambil air di gentong yang sama sekali tidak nampak bersih, 2 botol Aqua ia habiskan. Dalam keadaan fisik yang lemah seperti itu saya tidak berani untuk mengambil resiko. Saya berfikir bagaimana kalau saya jatuh sakit, sementara tiada panitia satu pun.
Akhirnya di titik inilah, kami harus berpisah karena saya sudah tidak sanggup berjalan. Dengan uang yang tersisa saya mencoba mencari wartel untuk menelpon, namun tidak ketemu. Sementara itu, pinjaman HP pun tidak saya dapatkan. Dalam keadaan yang lemah seperti itu saya teringat pesan panitia, “ Gunakan uang amanat dalam keadaan sangat terpaksa”. Saat itu saya dihadapkan pilihan, saya harus minum atau saya dehidrasi. Akhirnya dengan amat berat, saya membeli minuman dengan uang yang tersisa. Sebuah keputusan berat yang saat itu saya ambil. Rasa haus seperti tidak mau hilang, walaupun lebih dari satu gelas air yang terminum. Namun setidaknya rasa haus yang membakar itupun hilang.
Setelah istirahat selama 1 jam di Mushola, saya pun melanjutkan perjalanan. Tidak lama setelah itu, dari belakang muncul mobil panitia yang memberikan satu botol air minum, dan satu bungkus roti. Keduanya langsung saya lahap. Dari Sdr. Irfan akhirnya saya mengetahui bahwa pos UNPAM memang telah ditinggalkan penjaganya ketika tadi kami datang kesana. Penjaganya memang terlalu lama menunggu kami. Saat itu hujan turun amat deras, sementara di Peta Panitia nampak masih 17km lagi harus saya tempuh. Air minum dan sebungkus roti tidak membuat perjalanan saya seberat sebelumnya. Singkat cerita pukul 18.30 malam saya baru sampai di Masjid Parigi, sementara Nur Khoer sampai satu jam sebelumnya. Disana saya akhirnya mengetahui, bahwa rata-rata kawan-kawan saya telah sampai disana ba’da Dzuhur. Namun sampai di Masjid Parigipun telah membuat saya sangat bahagia.
Selasa 11 Mei. Setelah kemarin mengalami musibah tersesat, pada hari ini saya berjalan dengan harapan akan finish 5 besar. Rute Parigi-Masjid Gondrong sepertinya tidak terlalu berat. Mendapat nomer finish pertama, sepertinya semuanya akan berjalan lancar. Namun ternyata perjalanan tidak semulus yang saya bayangkan, baru berjalan sekitar 5km mata saya sudah kunang-kunang, sementara badan terasa amat berat dibawa. Pada akhirnya saya baru paham jika badan saya demam, sepertinya disebabkan guyuran hujan kemarin. Akhirnya disebuah gubuk saya istirahat sebentar. Setelah itu perjalanan banyak dilalui dengan langkah-langkah kecil. Bukan karena kaki yang sakit, tapi lebih ke badan yang sakit. Saking tidak kuatnya, saya sempat menangis tersedu-sedu sekitar pukul 8 pagi, saat itu saya sudah berada di urutan akhir. Saya merintih kepada Tuhan agar saya diberi kekuatan agar bisa lulus Paidal Safar. Dalam keadaan seperti itu, satu hal yang terus saya pegang adalah saya harus sampai ke Gondrong. Alhamdulilah sekitar pukul 9 demam saya hilang, namun saya sudah tertinggal 1,5 jam dengan rekan-rekan saya.
Seingat saya, hari ke-2 adalah hari yang paling berat. Selain karena tubuh saya tidak fit, juga karena saya banyak menemui rute gedung-gedung besar di daerah Bintaro ataupun Sumarecon yang panasnya setengah mati. Namun saya terus berjalan dengan semangat bahwa saya harus sampai, walaupun saya yang terakhir sampai. Saya terus berjalan namun tidak nampak satu orangpun di depan. Baru sekitar pukul 11.30 saya bertemu 4 rekan saya yang sedang istirahat di gundukan tanah yang rindang oleh pepohonan. Alhamdulilah walaupun tidak terus-menerus, dalam perjalanan Paidal Safar ini, saya sering berdzikir. Dan semata-mata hanya pertolongan Allah Taa’la yang membuat saya tetap lulus. Singkat cerita jam 16.30 saya sampai di Masjid Gondrong, dan tetap menjadi yang terakhir. Benar-benar hari ini segala kesabaran, semangat dan kerja keras saya telah saya keluarkan sekuat tenaga. Dalam perjalanan sering saya juga berfikit betapa beratnya tugas seorang mubaligh.
Dalam 2 hari ini dukungan panitia kepada saya sangat bagus, mereka selalu memberi semangat kepada saya, selalu menunggu saya di tiap tikungan besar ataupun di pos. Sungguh untuk segala kerja kerasnya, saya acungkan 2 jempol kepada mereka, atas segala pelayanannya.
Rabu, 12 Mei. Tak terasa 2 hari sudah saya lalui ujian Paidal Safar. Berbeda dengan 2 hari sebelumnya, saya yang selalu berpasangan dengan Nur Khoer, berganti pasangan. Hakim dengan badannya yang agak bongsor menjadi pasangan baru saya. Pergantian pasangan ini berlaku ke semua peserta pada hari yang menempuh rute Masjid Gondrong-Peninggilan.
Berat…..Memang berat Paidal Safar…….Pada hari ini, baru mulai melangkahpun kaki saya sudah sakit, terasa linu dan sakit di bagian engkel. Dengan terseret-seret saya tetap menjadi peserta yang paling belakang sampai pos-pos. Hari ini juga terasa berat, namun memang tidak seberat hari kemarin. Namun berbeda dengan hari sebelumnya, pada hari ini saya sempat beberapa kali menyalib rekan-rekan saya, yang pada akhirnya menyalib saya kembali. Di pos Parigi, nampak Hakim yang sedang kesakitan setelah kakinya diserempet motor.
Hingga pukul 12 siang, perjalanan terasa tidak terlalu berat, karena nampaknya sudah mencapai 80% peta. Hitungan saya, paling lambat saya sampai Masjid Paninggilan jam 14.30. Namun tidak kenyataannya. Tikungan-tikungan akhir peta yang digambarkan sangat pendek ternyata adalah belokan-belokan yang sangat jauh. Diantara semua belokan, belokan di jalan Pertukangan Utara adalah belokan yang paling berat. Digambarkan hanya dengan jalan lurus pendek, ternyata adalah jalan berbelok-belok yang sangat panjang.
Setelah melalui perjalanan yang amat panjang dan melelahkan, pada akhirnya sebelum jarum jam menujukkan pukul 5 sore, 2 kaki saya sudah bisa mencicipi nikmatnya basuhan air panas di pelataran Masjid Paninggilan.
Malamnya saya langsung oles kaki saya dengan 3 ramuan, ramuan pertama adalah salep Arnica care, lalu Counterpain dan terakhir adalah kapur sirih dicampur jeruk nipis. Malam itu saya berharap bahwa esok bisa sampai Kampus Mubarak tanpa ada keinginan untuk finish urutan keberapa.
Last Day. Kamis 13 Mei 2010. Seperti kemarin, hari ini pun saya disandingkan dengan Arif Rahman Hakim. Namun ada yang aneh dengan hari ini, kaki saya benar-benar terasa ringan, semua pegal linu serta rasa nyeri di engkel bisa dibilang hilang seluruhnya. Kalaupun terasa hanyalah sedikit. Saya baru sadar, bahwa ramuan kapur sirih ditambah jeruk nipis adalah ramuah yang benar-benar bagus untuk jalan kaki jauh. Melihat hal ini, niatanpun berubah. Tiba-tiba timbul keinginan untuk finish pertama.
Keinginan untuk finish pertamapun membuat saya meninggalkan Hakim serta Fadhal yang pada awalnya kami bersama-sama. Keadaan Hakim sudah parah, memang ada perasaan berat untuk meninggalkan. Namun pada saat meninggalkan, niat awal saya adalah daripada 2 orang terseret-seret sampai Kampus Mubarak, lebih baik hanya satu orang.
Akhirnya bersama Amar, saya memulai perjalanan jalan kaki yang benar-benar cepat. Seluruh kecepatan kaki kami kerahkan. Saat itu saya berfikir pasti rekan-rekan di belakang saya, mereka tidak sanggup lagi berjalan secepat ini. Kami berdua berjalan benar-benar cepat, yang ada dalam fikiran saya adalah bagaimana untuk mengejar Ataul yang berdasarkan hitungan saya, dia berjalan sangat….sangat…cepat…layaknya bus Kerub yang sedang ngebut. Namun perkiraan saya buyar semua, ketika sekitar pukul 6 pagi, dari arah belakang Arif A serta Karim menyalip dengan kecepatan yang tidak masuk akal untuk orang yang telah berjalan 150km. Kaki saya agak lemas jadinya, saya sempat berhenti 5 menit, setelah pada 3 pos sebelumnya sama sekali tidak istirahat. Namun saya tidak mengendurkan saraf, saya kembali berjalan, tetapi tidak dengan kecepatan secepat sebelumnya, namun tetap saja masih cepat.
Sekitar pukul 07.30 pagi dari arah belakang nampak rombongan Iman dkk yang berjalan sangat cepat. Kembali saya geleng-geleng kepala, saya lebih merasa sedang berlomba dengan para kuli, dibanding dengan mahasiswa. Merasa tidak mau disalip, saya kembali memaksimalkan kecepatan kaki saya, hampir 40 menit saya tidak tersalip, namun di tikungan menuju Cinere 21 saya tersalib Iman yang berjalan sangat cepat. Setengah jam kemudian saya tersalib oleh 3 orang yang berat untuk menyebutkan namamanya ( Memang lebih enak nyalib daripada disalip).
Hari itu yang saya lihat bukanlah para mahasiswa biasa, namun lebih terlihat dari gerombolan orang-orang yang tidak memperdulikan rasa sakit di kaki, atau rasa letih di badan. Contohnya adalah Umar, walaupun kakinya sudah pincang sebelah, namun kecepatan jalannya masih luar biasa. Saya jadi paham, memang Paidal Safar ini telah mendidik para pesertanya untuk tidak menyerah dalam keadaan apapun.
Singkat cerita sekitar jam 12 lebih, saya sampai di Kampus Mubarak. Ada perasan amat lega, bahagia dan bangga tentunya setelah berhasil menaklukkan 215km dengan kedua kaki kita. Terima kasih Tuhan karena Engkau selalu menemani saya selama perjalanan, Thanx You panitia atas segala kerja kerasnya, terima kasih Pak Amar Ma’ruf yang telah mencetuskan Paidal Safar. Dan tentunya juga terima kasih kepada seluruh dosen serta rekan perjuangan. Terakhir saya ucapkan selamat Paidal Safar untuk para mahasiswa tingkat I.
Wassalam
Mawahibur R
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.