Kamis, 10 Oktober 2019

Dasar-Dasar Hukum Negara : Sebuah Pandangan Islam



Dasar-Dasar Hukum Negara : Sebuah Pandangan Islam
Oleh : Mawahibur Rahman
Akhir-akhir ini negeri kita yang tercinta sedang diguncang dengan isu dan aksi yang cukup mengguncang stabilitas keamanan negara.  Ada beberapa isu yang menjadi penyebab ketidakstabilan itu terjadi, tetapi isu tentang revisi beberapa undang-undang negara menjadi isu yang nampaknya paling menarik perhatian dan respon dari publik.
Diawali dengan revisi undang-undang (selanjutnya ditulis UU) KPK yang menimbulkan pro kontra berlanjut dengan beberapa rancangan UU yang akan disahkan seperti RUU Pertanahan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan puncak dari itu adalah penolakan besar-besaran terhadap RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Pasal demi pasal yang akan disahkan dalam berbagai UU tersebut dianggap tidak sejalan dengan asas dasar keadilan, semangat pembrantasan korupsi, keadilan sosial dll.
Respon publik dalam menanggapi isu UU ini pun bervariasi, ada yang merespon lewat diskusi, ada yang membuat aksi demo di jalan, ada juga yang merespon lewat tulisan. Nah, cara terakhir lah yang akan penulis ambil dalam merespon isu ini. Semangat merespon topik tentang UU ini didasari oleh 2 posisi penulis, pertama sebagai warga negara yang memiliki hak untuk turut serta dalam penyusunan UU negara, kedua sebagai seorang muslim, penulis melihat falsafah-falsafah kebaikan di dalam Islam layak menjadi pertimbangan dalam mencari solusi dalam kisruh seputar UU ini. Tulisan ini Insya Allah akan mejadi pembuka bagi bebarapa seri essai singkat penulis yang akan membahas seputar UU yang sedang jadi trending topic ini. Pandangan Islam yang akan penulis kemukanan tentu adalah Islam subjektif sesuai dengan penelaahan dan perjalanan penulis dalam mendalam agama ini. Tapi penulis berusaha obejektif dengan mengambil dalil-dalil & landaan pemikiran dari 2 sumber hukum Islam yang paling kuat yaitu Al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad saw.
Dalam tulisan pembuka ini, persepektif Islam yang akan penulis sampaikan akan mengarah pada substansi dari apa falsafah dasar yang harus ada yang menjadi ruh dari suatu hukum negara, daripada membahas sisi teknis pelaksanaan UU, selain itu rumit, juga  diluar kemampuan penulis untuk membahasnya. Baik, menurut Islam setidaknya ada 5 dasar yang sebaiknya  menjadi ruh dari suatu hukum negara.
1.      Tidak adanya paksaan untuk mengambil suatu hukum agama menjadi hukum negara.              
  Poin ini sangat berkaitan dengan dasar kedua tentang keadilan absolut (lihat dasar kedua). Contoh terbaik mengenai bagaimana Islam memandang apakah harus diupayakan agar hukum agama menjadi suatu hukum negara adalah contoh langsung dari Rasulullah saw. Ketika beliau awal hijrah ke Madinah, peta demografis Madinah saat itu cukup majemuk dimana terdiri dari : ( 1) Umat Islam terdiri dari kaum Anshar  dan Muhajirin  (2) Suku Aus dan Khazraj (3) Umat Yahudi yang tebagi dalam 3 suku utama yaitu : Banu Qainuqa, Banu Nadhir, dan Banu Quraizha. Beliau mengawali mempersatukan warga madinah dengan mengadakan negoisasi dan konsolidasi dengan seluruh warga Madinah melalui perjanjian tertulis yang bernama “ Piagam Madinah”. Rasulullah saw. sendiri dimufakati sebagai pemimpin dari masyarakat majemuk ini. Sehingga beliau saat itu memiliki 2 jabatan kepemimpinan, pemipin rohani umat Islam dan pemimpin pemerintahan kota Madinah.
         Dari kacamata ilmu politik, obyek yang dipimpin oleh Rasulullah saw memenuhi syarat sebagai sebuah negara  yaitu  teritorial wilayah, warga negara, dan pemerintah yang berdaulat. Islam periode Madinah adalah periode penyempurnaan undang-undang syariat, dimana jika dalam periode Mekkah wahyu-wahyu yang turun lebih fokus kepada falsafah, sedangkan wahyu-wahyu Madaniyah sudah mulai merinci bunyi dan pelaksanan dari undang-undang syariat Islam. Nah dalam titik ini lihatlah, bagaimana cara Rasulullah saw. menggambarkan dengan jelas bagaimana sudut pandang Islam itu. Beliau berada di posisi dan momen yang paling terbaik untuk mengupayakan syariat Islam menjadi undang-undang kesepakatan dari suatu pemerintahan. Beliau dipercayai menjadi pemipin bersama, beliau punya pendukung sangat kuat dari umat Islam, dan adanya teks undang-undang yang siap untuk ditawarkan.  Tapi lihatlah yang terjadi,beliau tidak mengupayakan itu, tapi beliau fokus membentuk suatu kesepakatan yang bisa mempersatukan warga Madinah dalam kedamaian, tapi tentunya tanpa harus menangggalkan falsafah kebaikan yang dalam ajaran Islam.

2.     Keadilan Absolut Harus Menjadi Dasar Hukum.
Lafaz adil dalam Alquran disebutkan sebanyak 28 kali untuk menggambarkan betapa pentingnya keadilan menjadi landasan hukum yang baik dan masyarakat yang beradab. Walaupun tidak mudah, keadilan absolut haruslah berusaha  diwujudkan meskipun ada perbedaan-perbedaan dalam keyakinan, agama, suku, dll. 2 ayat Al-Qur’an akan penulis kutipkan untuk melihat  bagaimana penekanan mengenai keadilan.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
Allah memerintahkan kamu agar selalu berlaku adil (QS. 16 : 91)[1]
Dan kemudian dari ayat itu berkembang dengan menyatakan:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mengizinkanmu untuk berlaku menyimpang dari keadilan mutlak (berbuat adil). Berlaku adillah, karena adil itu dekat dengan taqwa (QS. 5 : 9)
Lihatlah bagaimana sedemikian rupa Islam menekankan keadilan, bahkan jika karena perbedaan ataupun masalah kemudian timbul rasa tidak senang, tetap hal itu sama sekali bukan alasan untuk tidak berbuat adil. Al-Qur’an seolah-olah menyatakan “Kita boleh tidak senang dengan seseorang, tapi kita tidak boleh tidak berlaku adil kepadanya”.
Dengan landasan inilah syairat agama akan susah diadopsi begitu saja menjadi dasar hukum negara mejemuk. Bagaimanakah anda akan membuat seseorang non muslim mematuhi hukum negara yang diadopsi begitu saja dari syariat Islam misalnya ?. Tentu akan lebih mudah jika fokusnya bukan ke syariatnya, tetapi ke falsafahnya. Misalnya di Islam ditekankah tentang pelaksanaan keadilan, kejujuran, kemanusian, penghormatan dll, lalu nilai-nilai kebaikan itu diaplikasikan dalam hukum negara dengan bunyi pasal-pasal yang dimusyawarahkan dengan seluruh komponen bangsa. Maka cara terakhir inilah yang lebih memenuhi tuntutan keadilan.

3.     Memenuhi Hak-Hak Dasar Manusia
Bagian ketiga dari panduan Islam untuk hukum suatu negara adalah bahwa landasan hukum tersebut benar-benar memenuhi hak-hak dasar manusia (sering disebut HAM). Pemerintah adalah orang-orang yang telah diberi kepercayaan oleh rakyat untuk memimpin, dan dalam Islam yang paling penting dalam aspek kepemimpinan adalah upaya pemenuhan kebutuhan dasar subyek yang dipimpin. Beberap hak dasar yang harus dipenuhi : 1. Hak untuk menganut dan menjalankan agama & kepercayaannya (Q.S 18 : 30)[2], 2.  Hak untuk hidup dijaga kehidupannya (QS. 5 : 33)  3. Hak kebebasan berpendapat (QS. 10 : 100) 4. Hak kehormaan privasi (QS. 24 : 28-29) 5. Hak memperoleh keadilan (QS. 5 : 9) 6. Hak persamaan derajat (QS. 49 : 14) 7. Hak mendapatkan kehormatan (QS. 33 : 61-62) dll.

4.     Adab & Akhlak Harus Menjadi Praktek Sehari-Hari
Tujuan utama daripada pembentukan dan pelaksanaan hukum adalah membentuk masyarakat yang beradab. Dimana masyarakat yang beradab itu akan melahirkan kedamaian yang didambakan setiap warganya. Dari sisi hukum tantangan utama untuk mewujudkan hal ini bukanlah kekurangan isi daripada pasal-pasal yang ada, tetapi ada kesenjangan yang jauh anetara nilai-nilai yang dikonstitusikan dengan praktek warga negara terhadap nilai-nilai itu. Supremasi hukum hancur lebih kepada bahwa tidak ada penghormatan terhadap hukum itu dibanding terhadap pasal-pasal yang dianggap bermasalah.Oleh karenanya jika kita perhatikan para Nabi yang diutus di berbagai zaman[3], mereka pertama-tama menumbuhkan dulu kecintaan umatnya terhadap nilai-nilai baik. Menjadikan nilai-nilai itu sebagai sesuatu yang dipraktekkan sehari-hari. Rincian terhadap pelaksanaan detail, termasuk didalamanya apa hukuman bagi pelanggar akan nilai-nilai itu datang berikutnya setelah nilai kebaikan itu meresap betul di masyarakat. Lihatlah wahyu-wahyu periode Makkiyah lebih fokus terhadap falsafah, baru undang-undang penyempurnaan diturunkan pada masa Madaniyah.


5.     Persamaan Derajat dalam Mata Hukum
Dasar in sebenarnya merupakan pelebaran makna dari dasar tentang keadilan absolut dan hak dasar warga negara. Akan tetapi perlu penulis menjadikan  dasar tersendiri. Karena memang supremasi hukum terkoyak yang berlanjut kepada rusaknya tatanan negara karena kegagalan dalam menegakkan “Equality Before the Law”. Islam pun sangat menekankan mengenai pelaksanaan asas emas ini. Penulis kutipkan satu ayat Al-Qur’an :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. 49 : 14)
Dari ayat ini dengan tegas dijelaskan bahwa keragaman manusia dalam segi jenis kelamin, suku bangsa, jabatan, keturunan, ekonomi dsb. tidak ada yang spesiak dari itu selain sebagai sarana silaturahmi. Karena yang dalam kacamata hukum yang membuat seseorang istimewa adalah amalannya. Disini maka ketika seseorang dihadapkan kepada peradilan maka yang menjadi pertimbangan utama dalam hukum adalah perbuatannya, bukan segala identitas lahirianya. Hukum harus benar-benar berdiri tegak diatas semua identitas lahiriah. Dalam hal ini, jelaslah tantangan utama nya bukanlah hukum akan berlaku kepada orang yang  lemah (dari berbagai aspek), tapi apakah hukum bisa benar-benar dijalankan kepada  orang yang kuat (secara ekonomi, jabatan, suku dll). Sehingga Rasulullah saw. dengan tegas telah menguatkan pondasi ini dengan menyatakan :
Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’ (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688)
Kemudian tantangan berikutnya adalah ketika identitas agama dijadikan alasan bagi seseorang agar hukum tidak bisa berlaku tegas kepadanya. Maka lihatlah kisah ketika Rasulullah saw. di Madinah sebagai seseorang yang memiliki kedudukan sangat tinggi sebagai pemimpin rohani dan pemimpin wilayah, saat itu beliau ditagih hutang dengan cara yang kasar oleh orang non muslim bernama Zaid bin Sa’nah. Penagihan hutang yang kasar ini membuat beberapa sahabat Rasulullah saw. yang mendengarnya menjadi begitu marah. Namun lihatlah, Rasulullah saw. saat itu sama sekali melepaskan segala kedudukan tinggi beliau, bahkan melepaskan kedudukan manusia biasa yang bisa marah ketika ditagih hutang dengan kasar. Beliau saw. hanya tersenyum dalam posisi dipermalukan seperti itu, beliau menyampaikan apa adanya bahwa beliau saw. memang memiliki hutang dan menyuruh sahabat Umar bin Khattab untuk mengambilkan kurma sesuai hutang beliau saw. Tidak cukup sampai disana, beliau menyuruh sahabat Umar bin Khattab agar menambahkan pembayaran kurma nya sebagai permohonan maaf karena sebelumnya Umar bin Khattab marah kepada orang Yahudi itu[4]. Itulah Sang Nabi yang dengan seluruh jiwa raganya meletakkan pondasi-pondasi hukum agar diabadikan dan diamalkan oleh umat manusia.










[1] Sistem penomoran ayat dalam tulisan ini, basmallah dihitung sebagai ayat pertama
[2] وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir
[3][3] Islam mempercayai bahwa para nabi yang diutus ke berbagai kaum semua datang dari Tuhan yang memiliki tugas yang sama yaitu membawa manusia kepada Tuhan dan menciptakan perdamaian diantara mahluk-Nya
[4]Kisah ini diriwayatkan oleh AL-Hakim dalam kumpulan haditsnya