Minggu, 10 Mei 2020

Puasa Simbol Cinta Hamba Pada Allah swt


Oleh : Mawahibur Rahman
Ketika kita akan melakukan suatu pekerjaan maka hal pertama yang harus kita pahami adalah apa tujuan dari pekerjaan yang kita lakukan. Memahami betul tujuan akhir dari suatu pekerjaan akan mendorong kita melaksanakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh. Lebih dari itu kita pun bisa mengharapkan untuk mendapatkan kenikmatan dari pekerjaan yang kita laksanakan.  Konsep ini juga berlaku dengan ibadah yang kita laksanakan. Dalam hal ini puasa misalnya, ibadah puasa ini bisa jadi hanya akan menjadi ritual tahan lapar  yang kering dari makna apabila kita tidak memahami tujuan atau falsafah dibalik puasa ini.

Dalam Al-Qur’an, surah Al-Baqarah ayat 184[1] Allah swt. telah menjelaskan bahwa tujuan utama dari orang berpuasa adalah  لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ yaitu kita menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa. Hanya kata takwa dalam Islam adalah kata yang mengandung kajian yang sangat luas. Salah satu aspek takwa adalah aspek kecintaan, yaitu seorang hamba menyadari betul akan keberadaan sosok Allah swt, dan kesadaran itu melahirkan ketakutan untuk kehilangan kecintaan Ilahi. Dari aspek ini lah saya ingin membahas konsep takwa dalam puasa yaitu dari sisi bahwa “Puasa adalah simbol cinta hamba pada Allah swt.”
Hakikatnya puasa adalah suatu bentuk ekspresi kecintaan seorang hamba kepada Sang Penciptanya. Kecintaan itu diekspresikan lewat hamba itu meninggalkan kebutusan dasar nya demi menunjukkan bukti ketaatan kepada Ilahi. Lihatlah, dalam puasa 3 hal dasar yang harus ditinggalkan adalah 3 kebutuhan dasar manusia, lebih dari itu malah 3 kebutuhan dasar dari mahluk hidup. Makan, minum dan melangsungkan keturunan adalah 3 kebutuhan dasar manusia. Sebelum manusia mengenal pakaian, rumah, budaya dll.  3 kebutuhan ini sudah menjadi kebutuhan alami dan dicari oleh manusia dari jaman pra sejarah. Sedemikian penting kebutuhan ini hingga Allah swt. sendiri dalam Al-Quran memerintah manusia untuk mencari 3 kebutuhan dasar itu karena ia berkaitan erat dengan kelangsungan hidup manusia di dunia.
Sekarang lihatlah, bagaimana lewat puasa seorang hamba meninggalkan makan, minum, pasangan hidup nya karena ingin membuktikan ketaatan dengan semangat cinta di dalamnya kepada Allah swt. Ketika ia puasa dia juga merasa lapar, tapi laparnya ditahan agar Allah swt. ridho akan dirinya. Lapar perutnya tidak lebih terasa perih dibanding hati nya yang lapar akan maidah (hidangan rohani) dari Allah swt. Hatinya mendambakan agar kiranya dengan ditahannya lapar jasmani itu, Allah swt berkenan menjamunya dengan makanan rohani. Ketika ia puasa dia juga merasa haus, terlebih jika ia puasa sambal harus bekerja di siang terik. Hanya rasa haus nya tidak terasa penting dibanding batinnya yang haus akan air rohani dari Allah swt. Kalbu nya yang kering ingin dibasahi oleh cipratan-cipratan air rohani itu. Ia yang puasa ia adalah seorang hamba pecinta, ia mencitai pasangan hidupnya, ia menyayangi belahan jiwanya. Namun kecintaan itu terasa tidak terlalu berarti dibandingkan kerinduan untuk bisa dicintai oleh Tuhannya. Kecintaan itu terasa kecil dibandingkan dambaan untuk bisa menjadi sahabat Allah swt.
Karena falsafah kecintaan inilah, ganjaran akan puasa juga bernuansa cinta. Dia tidak lagi menyebutkan nominal-nominal biasa yang biasanya disebutkan sebagai motivasi ibadah. Lihatlah teks demi teksi dari hadits dibawah ini :
Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no. 1904)

Lihatlah untuk orang yang memahami betul hakikat kecintaan puasa dan ia menjalankan puasa dengan kesungguhan dalam warna itu, maka Liqa Ilahi (perjumpaan dengan Allah swt) adalah ganjarannya. Sungguh inilah kondisi terbaik yang bisa diharapakan oleh seorang mukmin berkenaan dengan keimanannya. Yaitu dia berjumpa dengan Sang Pencipta sejatinya, dia bisa berjumpa dengan Kekasih Sejati kalbunya.

Bentuk kecintaan yang seperti ini akan melahirkan manfaat yang luar biasa. Dia tidak hanya menjadi pengalaman cinta antara hamba yang berpuasa dengan Allah swt. Ekspresi kecintaan itu akan bisa dirasakan oleh orang-orang yang hidup di sekeliling orang puasa itu. Orang-orang yang berpuasa dengan corak itu dalam waktu sebulan jiwanya sudah terbentuk pengorbanan besar demi kebaikan. Dia telah mencapai tahap kebaikan sempurna, yaitu dia siap meninggalkan kebutuhan dan hak sendiri untuk tujuan yang lebih besar.Sehingga untuk meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah swt adalah sesuatu yang lebih mudah dibanding sebelum ia melaksanakan puasa di bulan Ramadhan.

Selepas bulan ramadhan, orang-orang yang berpuasa siap mengatakan kepada Alalh swt, “ Ya Allah, aku tahu setiap larangan engkau adalah larangan yang jika aku lakukan akan membawa kerusakan kepada diriku. Maka dengan sebulan puasa ini aku siap mengatakan padamu ya Allah. Jangankan meninggalkan larangan yang akan membawa kerusakan kepada diriku. Meningggalkan makan, minum, pasangan hidup yang itu adalah kebutuhanku, itu adalah hakku, aku pun siap. Maka apalagi meninggalkan larangan engkau yang bukan hakku, bukan kebutuhanku, tentu aku Insya Allah akan siap”.
Maka dengan memaham tujuan ini, puasa itu akan membawa perubahan kebaikan pada nya. Puasa betul-betul membawa berkah bukan hanya pada dirinya, tapi akan dirasakan oleh orang-orang sekelilingnya. Karena selepas puasa dia tidak mau lagi mengatakan perkataan yang akan menyakiti mahluk Allah. Karena dengan nya ia akan kehilangan kecintaan Allah swt. yang ia dapatkan pada bulan Ramadhan. Dia tidak mau mengambil yang bukan haknya, karena jangankan yang bukan haknya, yang haknya saja demi kebaikan yang lebih besar, ia siap dia tinggalkan. Emosi nya akan terkontrol karena dia ketika puasa, walau dia di pihak yang benar, kemudian datang orang untuk mendebatnya, dia mengatakan akan mengatakan, “Maaf aku sedang berpuasa, maka aku harus tinggalkan perdebatan ini”.

Demikianlah puasa sebagai simbol cinta antara hamba dengan Allah swt. Kecintaan yang apabila dipahami dan dilaksanakan maka akan menimbulkan perubahan besar, bukan hanya sebagai pribadi tapi sebagai umat.



[1] Dalam hal ini, penulis menggunakan metode bismillah dihitung sebagai ayat pertama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.